Selasa, 26 Juni 2012

wakaf


WAKAF (MENAHAN)
A.    Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
Secara etimologi, kata wakaf (وقف) berarti al-habs (menahan), radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), dan al-man’u (mencegah).
Menurut syara’ banyak definisi yang dikemukakan oleh ulama di antaranya :
a.       Sayyid Sabiq
حبس الما ل و صر ف منا فعه في سبيل الله
Artinya : “Menahan harta dan menggunakan manfaatnya di jalan Allah SWT”.
b.      Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaeni
ممنو ع من التصرف في عينه وتصرف منا فعه في البر تقربا الي الله تعا لي
Artinya : “ Menahan harta yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya tanpa merusak (tindakan) pada zatnya yang dibelanjakan manfaatnya di jalan kebaikan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT”.
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang namanya wakaf adalah menahan benda yang tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan yang dibenarkan oleh syara’ dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Iman Taqiyuddin, pengarang kitab kifayat al-Akhyar mengutip sebuah pendapat lain yang mengatakan bahwa wakaf itu bersifat umum mencakup semua benda yang dapat diambil manfaatnya. Maka boleh mewakafkan anjing buruan yang terpelajar. Tetapi menurut pendapat yang lebioh kuat tidak boleh mewakafkan anjing karena anjing tidak boleh dimilki.
Dari uraian di atas maka terdapat beberapa ketentuan dalam hal wakaf. Menurut Azhar Basyir ketentuan itu sebagai berikut :
1)      Harta wakaf harus tetap (tidak dapat dipindahkan kepada orang lain) baik dengan dijual-belikan, dihibahkan, atauoun diwariskan.
2)       Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang yang mewakafkannya.
3)      Tujuan wakaf harus jelas (terang).
4)      Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam harta wakaf.
5)      Harta wakaf dapat berupa tanah dan sebagainya yang tahan lama dan tidak musnah sama sekali digunakan.
Kedudukan wakaf dalam Islam sangat mulia. Wakaf dijadikan sebagai amalan utama yang sangat dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Orang-orang jahiliyah tidak mengenal wakaf. Wakaf disyariatkan oleh Nabi dan menyerukannya karena kecintaan Beliau  
Dasar hukum yang dapat dijadikan penguat pentingnya wakaf dapat dilihat antara lain dalam al-Qur’an diantarannya :
1.      Surat al-Hajj ayat 77
وافعلوا الخير لعلكم تفلحو ن (الحج : ٧٧)
Artinya :” dan lakukanlah kebaikan semoga kamu beruntung ”. (QS:22/77).
2.      Surat al-Imran ayat 92
لن تنلوا البر حتي تنفقو ا مما تحبون (ال عمران : ٩٢)
Artinya : “Tidaklah kamu memperoleh kebaikan sampai kamu menafkahkan apa yang kamu sukai”. (QS:3/92).
3.      Dalam hadis Nabi
اذا ما ت الانسا ن انقطع عملها الا من ثلا ثة أ شيا ء صدقة جارية آوعلم ينتفع به آو ولد صا لح يدعوله (رواه مسلم)
Artinya : “ jika manusia mati maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah (yang terus menerus), ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kepadanya”. (HR. Muslim).
Para ulama menafsirkan sekedah jariyah dalamhadis di atas dengan wakaf. Jabir berkata tiada seorang dari sahabat Rasulullah yang memiliki simpanan melainkan diwakafkannya.
B.     Rukun dan Syarat Wakaf
a)      Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam perkara wakaf :
  Ada orang berwakaf (wakif), syaratnya orang yang bebas untuk berbuat kebaikan, meskipun bukan muslim dan dilakukan dengan kehendak sendiri bukan karena dipaksa.
  Ada benda yang diwakafkan (maukuf), syarat pertama, benda itu kekal zatnya dan dapat diambil manfaatnya (tidak musnah karena diambil manfaatnya). Kedua, kepunyaan orang yang mewakafkan, meskipun bercampur (musya’) yang tidak da[at dipisahkan dari yang lain, maka boleh mewakafkan uang yang berupa modal, berupa saham pada perusahaan. Ketiga, harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila wakaf itu diperuntukkan untuk membangun tempat-tempat ibadah umum hendaknya ada badan yang menerimnya yang disebut nadzir. dan diperbolehkan bagi orang yang mengurus zakat (nadzir) untuk mengambil sebagaian dari hasil wakaf. Hal ini didasarkan hadis Nabi :
لا جنا ح علي من وليها أن ياء كل منها با لمعروف
Artinya : “ Tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagaian darinya dengan cara yang makruf “.
  Tujuan wakaf (maukuf alaih) disyaratkan tidak bertentangan dengan nilai ibadah. Menurut Sayyid Sabiq, tidak sah wakaf untuk maksiat, seperti untuk gereja dan biara, dan tempat bar.
  Pernyataan wakaf (shigat wakaf) baik dalam bentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, bahkan dengan perbuatan. Wakaf dinyatakan sah jika telah ada pernyataan ijab dari wakif dan kabul dari maukuf alaihi. Shigat dengan isyarat hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak dapat lisan dan tulisan.
b)      Syarat wakaf.
z  Wakaf berlaku selamanya, tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Jika ada yang mewakafkan kebun untuk jangka waktu sepuluh tahun maka dipandang batal.
z  Tujuan wakaf harus jelas, misalnya : mewakafkan sebidang tanah untuk masjid. Jika, tujuan tidak disebutkan, maka masih dipandang sah sebab penggunaan harta wakaf merupakan wewenang lembaga hukum yang menerima harta wakaf.
z  Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ada ijab dari yang mewakafkan.
z  Wakaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf beraku seketika dan untuk selamanya.
C.    Macam-macam Wakaf
1.      Wakaf Dzurri (keluarga) disebut juga wakaf khusus dan ahli ialah wakaf yang ditujukan untuk orang-orang tertentu baik keluarga wakif atau orang lain. Wakaf ini sah dan yang berhak untuk menikmati benda wakaf itu adalah orang-oorang tertentu saja.
2.      Wakaf Khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum tidak dikhususkan kepdada orang-orang tertentu. wakaf khairi inilah wakaf yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat diambil manfaatnya.
D.    Menukar dan Menjual Harta Wakaf
Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, berkata “mengganti sesuatu yang diwakafkan dengan yang lebih baik terbagi menjadi dua”. Yaitu :
1)      Menukar atau mengganti karena kebutuhan, misalnya : karena macet atau tidak layak lagi untuk difungsika. Maka benda itu dijual dan harganya digunakan membeli sesuatu yang dapat menggantikannya, seperti kuda yang diwakafkan untuk perang dan sekarang tidak mungkin lagi digunakan, maka dijual dan harganya digunakan untuk membeli sesuatu yang dapat menggantikan posisinya.
2)      Mengganti atau menukar karena kepentingan yang lebih kuat, misalnya : di suatu kampung dibangun sebuah masjid sebagai pengganti masjid sebagai pengganti masjid lama yang telah rusak dan letaknya tidak strategis. Kemudian, masjid lama itu dijual maka hukumnya boleh menurut Ahmad.
Akan tetapi, terdapat sahabat yang melarang menggantikan masjid atau tanah yang diwakafkan. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i dan juga Malik. Mereka beralasan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Umar :
لايبا ع ولا يو هب ولا يورث
Artinya : “tanah wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan”.

seputar fiqh


SEPUTAR FIQH MUAMALAH
A.    Pengertian Fiqh Muamalah
Kata Muamalat المعا ملا ت yang kata tunggalnya muamalah المعا ملا ت yang berkar pada kata عا مل secara arti kata mengandung arti “saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti “hubungan antara orang dan orang”. Muamalah secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah المفا علة  yaitu saling berbuat. Kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Atau muamalah secara etimologi itu artinya saling bertindak, atau saling mengamalkan.
Secara terminologi, muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit.
Pengertian muamalah dalam arti luas yaitu “ yaitu menghasilkan duniawi supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawy.
Menurut Muhammad Yusuf Musa yang dikutip Abdul Majdid : “muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Jadi, pengertian muamalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya denagan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Adapun pengertian muamalah dalam arti sempit (khas), didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
Menurut Hudhari banyak yang dikutip oleh Hendi Suhendi. “muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.
Menurut Rasyid Ridho, “muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan”.
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa pengertian muamalah dalam arti sempit yang semua akad membolehkan manusia saling menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia wajib mentati-Nya.
Adapun pengertian fiqh muamalah, sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah al-Sattar Fathullah Sa’id yan dikutip oleh Nasrun Haroen yaitu “hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan kedunianaan, misalnya dalam persoalan jual beli, utang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, dan sewa menyewa.
Manusia dalam definisi di atas maksudnya ialah seseorang yang telah mukallaf, yang telah dikenai beban taklif, yaitu yang telah berakal, baligh dan cerdas.
B.     Ruang Lingkup Fikih Muamalah
Ruang lingkup fiqh muamalah terbagi dua, yaitu ruang lingkup muamalah madiyah dan adabiyah.
Ø  Ruang lingkup pembahasan muamalah madiyah ialah maslah jual beli (al-ba’i / al-ijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), pemindahan utang (al-hiwalah), jatuh bangkrut (taflis), batasan bertindak (al-hajru), perseroan atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharabahah), sewa-menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai (al-‘ariyah), barang titipan (al-wadhi’ah), barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-mukhabarah), upah (ujrah al-‘amal), gugatan (al-syuf’ah), sayembara (al-ji’alah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al-hibah), pembebasan (al-ibra’), damai (al-shulhu), dan ditambah denagan beberapa masalah kontemporer (al-mu’ashirah/al-muditsah), seperti masalah bunga bank, asuransi kredit, dan masalah-masalah baru lainnya.
Ø  Ruang lingkup masalah fiqh muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab qobul, saling meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannnya denagn peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
C.    Pembagian Fikih Muamalah
Menurut Ibn Abidin yang dikutip oleh Hendi Suhendi, fiqh muamalah terbagi menjadi lima bagian, yaitu :
1.      Mu’awadhah Maliyah (hukum kebendaan).  
2.      Munakahat (hukum perkawinan)                   
3.      Mukhashamat (hukum acara)
4.      Amanat dan Ariyah (pinjaman)
5.      Tirkah (harta peninggalan)
Pendapat al-Fikri yang dikutip oleh Hendi Suhendi menyatakan bahwa muamalah dibagi menjadi dua yaitu :
ü  Al-muamalah al-madaniyah, yaitu muamalah yang mengkaji objeknya, sehingga sebagaian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah ialah muamalah bersifat kebendaan karena objek fiqh muamalah adalah benda yang halal, haram, dan sybhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memudaratkan, dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta segi-segi yang lainnya.
ü  Al-muamalah al-adabiyah, yaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber dari pancaindra manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban, misalnya : jujur, hasud, dengki, dan dendam.
Pembagian muamalah di atas dilakukan atas dasar kepentingan teorirtis semata, sebab dalam praktiknya kedua bagian muamalah tersebut tidak dapt dipisah-pisahkan.
D.    Fiqh muamalah dan hukum perdata
Muamalah dalam arti luas mencakup masalah al-ahwal al-syakhsyyiyah, yakni hukum keluarga yang mengatur hubungan suami, istri, anak, dan keluarganya. Pokok kajiannya meliputi munakahat, mawaris, wasiat, dan wakaf.
Muamalah dalam arti sempit membahas masalah jual beli, gadai, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan hiwalah (pemindahan utang). Hukum perdata di Indonesia ada dua : 1. Hukum perdata dalam arti luas. 2. Hukum perdata dalam arti terbatas.
Hukum perdata dalam arti terbatas ialah hukum privat : hukum yang mengatur hubung-hubungan hukum antara para warga hukum (manusia-manusia pribadi dan badan hukum). Terdiri atas hukum perdata, dagang, bukti, dan kadalwarsa (lewat waktu).
Samakah bidang fiqh muamalah dengan hukum perdata dalam sistematika dan sumber hukum ?
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa bidang-bidang hukum perdata dalam hukum islam terdapat dalam al-ahwal al-syakhshiyyah, muamalah, dan qadha. Oleh karena itu, tidaklah tepat mempersamakan bidanh fiqh muamalah dengan hukum perdata. Bahkan ada sebagaian hukum perdata oleh para ulama dibahas dalam bidang Ushul Fiqh, seperti tentang subjek hukum atau orang mukalaf.
Di samping itu, sumber hukum fiqh muamalah berbeda sekali dengan sumber hukum perdata. Juga sistematika fiqh muamalah dan hukum perdata terdapat perbedaan-perbedaan. Sistemtika hukum perdata mengatur orang pribadi, sedangkan hukum orang pribadi tidak dijelaskan dalam fiqh muamalah, tetapi dijelaskan dalam  Ushul Fiqh.
E.     Hubungan Fiqh Muamalah dengan Fiqh Lain
Para ulama fiqh telah mencoba mengadakan pembidangan ilmu fiqh, namun di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam pembidangannya. Di sini hanya akan dikemukakan  pendapat yang membaginya menjadi dua bagian besar, yaitu :
  Ibadah, yakni segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti : shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad.
  Muamalah, yakni segala persoalan yang berkaitan dengan urusan-urusan dunia dengan Undang-Undang.
Menurut Ibn Abidin yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy, pembagian fiqh dalam garis besarnya terbagi tiga, yaitu :
Ø  Ibadah, bagian ini melengkapi lima persoalan pokok yaitu : shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad.
Ø  Muamalah, bagian ini terdiri dari : mu’awadhah maliyah, munakahat, mukhashamat,dan tirkah (harta peningglan)
Ø  ‘Uqubat, bagian ini terdiri dari : qishash, had pencurian, had zina, had menuduh zina, takzir, tindakan terhadap pemberontak, dan pembegal.
Ada juga yang membaginya menjadi empat bagian, yaitu :
- Ibadah                                                     - Munakahat   
 - Muamalah                                              - ‘Uqubat
Di antara Pembagian di atas, pembagian pertama lebih banyak disepakati oleh para ulama. Hanya, maksud dari Muamalah di atas ialah Muamalah dalam arti luas, yang mencakup bidang-bidang fiqh lainnya. Dengan demikian, muamalah dalam arti luas merupakan bagian dari fiqh  secara umum. Adapun  fiqh muamalah dalam arti sempit merupakan bagian dari fiqh muamalah dalam arti luas yang setara dengan bidang fiqh di bawah cakupan arti fiqh secara luas.

khiyar


KHIYAR DALAM JUAL BELI
1.    Pengertian Khiyar.
Kata al-khiyar dalam bahasa Arab berati pilihan. Pembahasan al-Khiyar dikemukakan oleh ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata yang khususnya transkasi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.
Secara terminologi, para ulama fiqh telah mendifinisikan al-Khiyar, antara lain menurut M. Abdul Mujieb mendifinisikan : “al-Khiyar ialah hak memilih atau menentukan pilihan antara dua hal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan diteruskan atau dibatalkan”.
Dan menurut Sayyid Sabiq khiyar :
الخيار هو طلب خير الأمرمن الامضاا ء أوالالغاء       
Artinya :
“ Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan ataua membatalkan (jual beli)”.
Hak Khiyar ditetapkan syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebik-baiknya. Dengan kata lain, diadakannya khiyar oleh syara’ agar kedua belah pihak dapat memikirkan lebih jauh kemaslahatan masing-masing dari akad jual-belinya, supaya tidak menyesal di kemudian hari, dan tidak merasa tertipu.
Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual-beli. Dari satu segi memang khiyar (opsi) ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, khiyar ini yaitu jalan terbaik.  
2.    Hukum Khiyar dalam Jual Beli.
Hak Khiyar (memilih) dalam jual beli, menurut Islam dibolehkan, apakah akan meneruskan jual beli atau membatalkannya, tergantung keadaan (kondisi) barang yang diperjual belikan.
Menurut Abdurrahman  al-Jaziri, status Khiyar dalam pandangan ulama fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Di abad modern ini yang serba canggih, di mana sistem jual beli semakin mudah dan praktis, masalah khiyar ini tetap diperlukan, hanya tidak menggunakan kata-kata Khiyar dalam mempromosikan barang-barang yang dijualnya, tetapi dengan ungkapan  singkat dan menarik, misalnya : “ Teliti sebelum membeli “. Ini berarti bahwa pembeli diberi hak khiyar (memilih) dengan hati-hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli, sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.
3.    Macam-macam Khiyar.
Khiyar itu ada yang bersumber dari syara’, seperti khiyar Majlis, Aib, dan Ru’yah. Selain itu, ada juga khiyar yang bersumber dari kedua belah pihak yang berakad, seperti Khiyar Syarat dan Ta’yin. Berikut ini dikemukakan pengertian masing-masing khiyar tersebut :
1)      Khiyar majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad (diruang toko) dan belum berpisah badan. Artinya, transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan, atau salah seorang diantara mereka telah melakukan pilihanuntuk menjual dan / membeli. Khiyar ini hanya berlaku dalam transaksiyang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual beli dan sewa menyewa.
Syariat mencarikan jalan baginya untukia dapat memperoleh hak yang mugkin hilang dengan tergesa-gesaan tadi. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hakim dan Hazam bahwa Rasulullah SAW bersabda :
‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’arab,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Artinya :
“ Dua orang yang melakukan jual beli boleh meakukan khiyar selam belum berpisah. Jika keduannya benar dan jelas maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkan keberkahan jual beli mereka “. (HR. Buhari dan Muslim).
Artinya, bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah pihak in mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secar fisik. Dalam kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya. Di rumah yang kecil , dihitung sejak salah seorang keluar. Di rumah besar, sejak berpindahnya salah seorang dari tempat dududk kira-kira dua atau tiga langkah. Jika keduanya bangkit dan pergi bersama-sama maka pengertian berpisah belum ada.   
2)      Khiyar ‘aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung. Misalnya, seseorang membeli telur 1kg, kemudian satu butir di antaranya telah busuk, atau ketika telur dipecahkan telah menjadianak ayam. Hal ini sebelumnya tidak diketahui oleh pembeli. Dalam kasus seperti ini, menurut para pakar  fiqh, ditetapkan hak khiyar bagi pembeli.
Jadi, dalam khiyar aib itu apabila terdapat bukti cacat pada barang yang dibelinya, pembeli dapat mengembalikan barang tersebut dengan meminta ganti arang yang baik, atau kembali barang atau uang. Dasar hukum khiyar aib, di antaranya sabda Raslullah SAW :
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,arab..................................
Artinya :
“ Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang musim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal barang itu terdapat aib/cacat “. (HR. Ibnu Majah dan dari Uqbah bin Amir).  
3)      Khiyar ru’yah, yaitu khiyar (hak pilih) bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli bagi yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyari’atkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan :
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,arab,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Artinya :
“ Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu “’. (HR. Dar al-Quthani dari Abu Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan objek yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat seperti ikan kaleng (sardencis). Khiyar ru’yah, menurut mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan ia beli.   
4)      Khiyar syarat, yaitu khiyar (hak pilih) yang dijadikan syarat oleh keduanya (pembeli dan penjual), atau salah seorang dari keduanya sewaktu terjadi akad untuk meneruskan atau membatalkan akadnya itu, agar dipertimbangkan setelah sekian hari. Lama syarat yang diminta paling lama tiga hari. Misalnya : seseorang berkata, Saya menjual mobil ini dengan harga seratus juta rupiah (Rp. 100. 000. 000, -) dengan syarat boleh memilih selama tiga hari. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda :
.........................arab..................................................
Artinya :
“ Kamu bleh khiyar (memilih) pada setiap benda yang elah dibeli selama tiga hari tiga malam “. (HR. Baihaqi).
Hadis dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. Bersabda :
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,arab...................................
Artinya :
“  Setiap dua orang yang melakukan jual beli, belum dinyatakan sah jual beli itu sebelum mereka berpisah, kecuali jual beli khiyar “.
Artinya, jual beli dapat dilangsungkan dan dinyatakan sah bila mereka berdua telah berpisah, kecuali bila disyaratkan oleh salah satu kedua belah pihak, atau kedua-duanya adanya syarat dalam masa tertentu.
5)      Khiyar ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Contoh, pembelian keramik : ada yang berkualitas super (KW1) dan sedang (KW2). Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan pakar keramik dan arsitek. Khiyar seperti ini, menurut ulama Hanafiyah yaitu boleh, dengan alasan bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin diperbolehkan.
Akan tetapi, Jumhur Ulama fiqh tidak menerima keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan oleh oleh Ulama Hanafiyah ini. Alasan mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang diperdagangkan (al-sil’ah) harus jelas baik kualitasnya, maupun kuantitasnya. Dalam persoalan khiyar ta’yin, menurut mereka, kelihatan bahwa identitas barang yang aan dibeli belum jelas. Ole karena itu, ia termasuk ke dalam jual beli al-a’dun (tidak jelas identitasnya) yang dilarang syara’.       
4.    Hikmah Khiyar.
Diantara hikmah khiyar sebagai berikut :
                               I.            Khiyar dapat mebuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli.
                            II.            Mendidik masyarakat agar berhati-hati dlam melakukan akad jual beli, sehingga pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau benar-benar disukainya.
                         III.            Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan barangnya.
                         IV.            Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun pembeli, karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli.
                            V.            Khiyar dapat memlihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antar sesama. Adapun ketidak jujuran atau kecurangan pada akhirnya akan berakibat dengan penyesalan di salah satu pihak biaana dapat mengarah kepada kemarahan, kedengkian, dendam, dan akibat buruk lainnya.
SUMBER :
Jamil, Fathurrahman, “Fiqh Muamalah” (Jaklarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), vol. 3,
Ghazaly, Abrur Rahman . dkk, “Fiqh Muamalah ” (Jakarta : Kencana, 2010),
Syafei, Rahmat.  “Fiqh Muamalah” (Bandung : Pustaka Setia, 2001),
Haroen, Nasrun. ” fiqh Muamalah” (jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
Huda, Qomarul. “Fiqh Muamalah” (Yogjakarta : Teras, 2011),
Sabiq, Sayyid. “Fiqh as-Sunnah” (Semarang : Toha Putra,) Juz. 3,