Selasa, 26 Juni 2012

ihya al mawat


IHYA AL-MAWAT (MENGHIDUPKAN TANAH KOSONG)
A.    Pengertian dan Dasar Hukum Ihya al-Mawat
Secara etimologi kata ihya artinya menjadikan sesuatu atau menjadi hidup, dan al-Mawat ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah yang tidak dimiliki seseorang yang belum digarap. Pembahasan tentang ihya al-mawat berkaitan dengan persoalan tanah yang belum digarap dan belum dimilki oleh seseorang.
Secara terminologi, ulama fiqh mendefinisikan ihya al-Mawat sebagai berikut :
1.      Asy-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa ihya al-Mawat adalah menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkan seorang pun.
2.      Menurut Idris Ahmad yang dimaksud ihya al-Mawat adalah memanfaatkan tanah kosong untuk dijadikan kebun, sawah, dan yang lainnya.
3.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ihya al-Mawat adalah penggrapan lahan/tanah yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain, karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman.
Ihya al-Mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang menjadi tertanami, yang tidak produktif menjadi produktif, maupun untuk bangunan. Sebidang tanah atau lahan dikatakan produktif, apabila menghasilkan atau memberi manfaat kepada masyarakat. Indikasi yang menunjukkan kepada adanya ihya al-mawat adalah dengan menggarap tanah tersebut, misalnya jika tanah itu ditujukan untuk keperluan pertanian atau perkebunan tanah tersebut dicangkul, dibuatkan irigasi dan lain sebagainya. Dan jika tanah tersebut diperlukan untuk bangunan, di tanah tersebut didirikan bangunan dan sarana-prasarana umum sebagai penunjangnya.
Adapun yang mendasari konsep ihya al-mawat  adalah hadis-hadis Rosulullah saw. Hadis-hadis tersebut sebagai berikut :
Rasulullah saw. Bersabda
من عمر أر ضا ليست لأ حد فهو أ حق بها (رواه البخا ري)
Artinya : “barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas tanh itu”. (HR.Imam al-Bukhari).
Rasulullah saw. Bersabda :
من احيا ارضا ميتة فهي له (رواه ابو داود والتر مدى)
Artinya : “barang siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu akan menjadi miliknya”. (HR.Ahmad dan Imam at-Tirmidzi).
Dengan adanya hadis-hadis tersebut di atas, para ulama berpendapat bahwa hukum ihya al-mawat adalah mubah, bahkan ada yang mengatakan sunah. Yang jelas hadis-hadis tersebut memotivasiumat Islam untuk menjadikan lahankosong menjadi lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan oleh Allah swt, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
B.     Cara-cara Ihya al-Mawat
Cara-cara pengelolaan ihya al-Mawat secara rinci sebagai berikut :
                                i.            Menyuburkan. Cara ini digunakan untuk lahan yang gersang, yakni lahan yang yang tanamannya sulit tumbuh. Maka pada lahan seperti ini perlu diberi pupuk, baik pupuk organik maupun pupuk non-organik, sehingga lahan itu menjadi subur dan dapat ditanami dan selanjutnya mendatangkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.
                              ii.            Menanam pohon. Cara ini dilakukan untik lahan-lahan yang relatif subur tapi belum terolah. Sebagai tanda tanah itu telah dikuasai atau ada yang memiliki, perlu diberikan tanda dengan menanam tanaman-tanaman yang produktif seperti : tanaman untuk makanan pokok atau perkebunan tanaman keras, seperti : pohon jati, pohon karet, dan pohon kopi.
                            iii.            Membuat pagar. Hal ini dilakukan untuk menandai lahan kosong yang luas, sehingga orang lain mengetahui bahwa tanah itu telah dikasai oleh seseorang.
                            iv.            Menggali parit, yaitu membuat parit di sekelilingi kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasai, sehingga menutup jalan bagi orang lain yang menguasainya.
C.     Izin Penguasa dalam Ihya Al-Mawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perlunya izin penguasa/pemerintah untuk membuka lahan baru dan memfungsikan lahan yang gersang. Pendapat mereka terbagi menjadi dua golongan besar yakni :
Hanafiyah berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan membuka atau menhidupkan lahan yang kurang berfungsi, diwajibkan meminta izin kepada penguasa atau pemerintah. Apabila penguasa atau pemerintah tidak mengizinkannya maka seseorang tidak boleh langsun mengolah lahan itu. Oleh karena itu, pembuka lahan tersebut harus meminta izin kepada penguasa atau pemerintah.
Sementara itu Malikiyah berpendapat, bahwa seseoarng yang membuka lahan baru atau akan mengfungsikan lahan mati atau gersang, tidak wajib meminta izin kepada penguasa atau pemerintah, sebab jika lahan itu dekat dengan pemukiman, untuk menggarapnya harus mendapat izin dari penguasa/pemerintah, dan jika lahan itu berada jauh dari pemukiman atau berada di pedalaman, tidak diperlukan izindari penguasa/pemerintah.
Para ulama berpendapat bahwa sekalipun tanah atau lahan kosong tersebut telah diolah dan dimilki oleh seseorang, didalamnya terdapat hak-hak sosial yang tidak dapat dilarang untuk dinikmati masyarakat demi keberlangsungan kehidupannya. Hak-hak tersebut ialah hak terhadap air, rumput, dan api.
D.    Pembagian Tanah
Membagi-bagikan tanah/lahan dibolehkan menurut ajaran Islam, asalkan saja tanah itu belum menjadi milik seseorang/suatu lembaga, misalnya : tanah-tanah yang yang masih dikuasai oleh negara. Penguasaan tanah ini tergantung pada kebijakan pemerintah, apakah akan dimanfaatkan untuk kepentingan industri melalui perusahaan-perusahaan atau akan dibagi-bagikan kepada rakyat, seperti yang terjadi di pulau Sumatra dan Kalimantan. Ada sebagaian tanah yang diizinkan pengelolaannya kepad  perusahaan perkebunan, dan ada juga tanah/lahan yang dibagi-bagikan kepada peserta transmigrasi.
Menurut Qadhi’ Iyad yang dikutip oleh al-Kahlani dalam Subulus Salam yang dimaksud dengan al-iqtha (membagika-bagikan tanah)adalah pemberian pemerintah dari harta Allah swt, yang dianggap layak dan pantas untuk itu, dengan cara-cara sebagai berikut :
a.       Sebagai lahan/tanah diberikan kepada orang-orang yang mampu dan layak mengolahnya. Maka tanah itu akan menjadi hak milik orang tersebut supaya dikelola demi mencukupi kebutuhan hidupnya.
b.      Sebagaian tanah diberikan sebagai sebagai hak guna usaha bukan sebagai hak milik. Jenis lahan/tanah ini diberikan oleh pemerintah kepada orang-orang tertentu yang layak dan mampu mengfungsikannya. Hasilnya tentu saja selain untuk pengelola, yang lebih penting untuk kebutuhan masyarakat.
Pembagian lahan/tanah seperti diatas mengacu kepada sabda Nabi yang berbunyi sebagai berikut :
أن النبي صلي الله وسلم اقطع ارضا بحضر موت وبعث معوية ليقطعها إ يا ه (رواه ابو داود والتر مذى)
Artinya : “ Bahwasanya Nabi Muhammad SAW. Membagikan tanah da Hadra maut untuk dirinya (diri Nabi), dan menginstruksikan Muawiyah untuk membagikan pula tanah itu kepadanya (Muawiyah)”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi)
E.     Temuan dalam Tanah Baru
Menurut Hendi Suhendi bahwa seseorang yang telah memilki tanah atau lahan dibolehkan mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, dan yang terpenting tidak mengganggu milik orang lain dan menghalangi hak-hak sosial. Batas-batas lahan atau tanah harus ditandai dengan jelas seperti ditandai pohon-pohon, pagar, tiang beton dan lain sejenisnya, yang terpenting dapat menunjukkan batas-batas tanah miliknya secara jelas. Hal ini dilakukan untuk menghindari perselisihan kepemilkan hak dengan orang lain.
Dalam salah satu hadist yang terkait dengan ihya al-mawat Rasulullah SAW bersabda :
قا ل رسول الله صلى عليه وسلم لا ضرر ولا ضرار (رواه احمد وابن ما جه)
Artinya : “Seseorang tidak boleh menyusahkan dan tidak boleh disusahakan (HR.Ahmad dan Ibnu Majah).
Idris Ahmad berpendapat, bahwa barang siapa yang menghidupkan tanah mati, kemudian dari tanah tersebut memunculkan benda-benda yang tersembunyi (seperti barang-barang berhaga atau barang tambang), maka benda-benda itu menjadi miliknya, sedangkan air, rumput dan api/kayu bakar tetap menjadi milik masyarakat karena mengandung nilai-nilai sosial
                                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar