IHYA
AL-MAWAT (MENGHIDUPKAN TANAH KOSONG)
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Ihya al-Mawat
Secara
etimologi kata ihya artinya menjadikan sesuatu atau menjadi hidup, dan
al-Mawat ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah
yang tidak dimiliki seseorang yang belum digarap. Pembahasan tentang ihya
al-mawat berkaitan dengan persoalan tanah yang belum digarap dan belum
dimilki oleh seseorang.
Secara
terminologi, ulama fiqh mendefinisikan ihya al-Mawat sebagai berikut :
1.
Asy-Syarbini
al-Khatib berpendapat bahwa ihya al-Mawat adalah menghidupkan tanah yang
tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkan seorang pun.
2.
Menurut
Idris Ahmad yang dimaksud ihya al-Mawat adalah memanfaatkan tanah kosong
untuk dijadikan kebun, sawah, dan yang lainnya.
3.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa ihya al-Mawat adalah penggrapan lahan/tanah
yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain, karena ketiadaan irigasi serta
jauh dari pemukiman.
Ihya al-Mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang menjadi tertanami, yang
tidak produktif menjadi produktif, maupun untuk bangunan. Sebidang tanah atau
lahan dikatakan produktif, apabila menghasilkan atau memberi manfaat kepada
masyarakat. Indikasi yang menunjukkan kepada adanya ihya al-mawat adalah
dengan menggarap tanah tersebut, misalnya jika tanah itu ditujukan untuk
keperluan pertanian atau perkebunan tanah tersebut dicangkul, dibuatkan irigasi
dan lain sebagainya. Dan jika tanah tersebut diperlukan untuk bangunan, di
tanah tersebut didirikan bangunan dan sarana-prasarana umum sebagai
penunjangnya.
Adapun yang
mendasari konsep ihya al-mawat adalah hadis-hadis Rosulullah saw. Hadis-hadis
tersebut sebagai berikut :
Rasulullah saw.
Bersabda
من
عمر أر ضا ليست لأ حد فهو أ حق بها (رواه البخا ري)
Artinya : “barang
siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang
berhak atas tanh itu”. (HR.Imam al-Bukhari).
Rasulullah saw.
Bersabda :
من
احيا ارضا ميتة فهي له (رواه ابو داود والتر مدى)
Artinya :
“barang siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu akan menjadi
miliknya”. (HR.Ahmad dan Imam at-Tirmidzi).
Dengan adanya
hadis-hadis tersebut di atas, para ulama berpendapat bahwa hukum ihya
al-mawat adalah mubah, bahkan ada yang mengatakan sunah. Yang jelas
hadis-hadis tersebut memotivasiumat Islam untuk menjadikan lahankosong menjadi
lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan oleh Allah swt, dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia.
B.
Cara-cara Ihya al-Mawat
Cara-cara pengelolaan ihya al-Mawat secara rinci sebagai
berikut :
i.
Menyuburkan.
Cara ini digunakan untuk lahan yang gersang, yakni lahan yang yang tanamannya
sulit tumbuh. Maka pada lahan seperti ini perlu diberi pupuk, baik pupuk
organik maupun pupuk non-organik, sehingga lahan itu menjadi subur dan dapat
ditanami dan selanjutnya mendatangkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.
ii.
Menanam
pohon. Cara ini dilakukan untik lahan-lahan yang relatif subur tapi belum
terolah. Sebagai tanda tanah itu telah dikuasai atau ada yang memiliki, perlu
diberikan tanda dengan menanam tanaman-tanaman yang produktif seperti : tanaman
untuk makanan pokok atau perkebunan tanaman keras, seperti : pohon jati, pohon
karet, dan pohon kopi.
iii.
Membuat
pagar. Hal ini dilakukan untuk menandai lahan kosong yang luas, sehingga orang
lain mengetahui bahwa tanah itu telah dikasai oleh seseorang.
iv.
Menggali
parit, yaitu membuat parit di sekelilingi kebun yang dikuasainya, dengan maksud
supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasai,
sehingga menutup jalan bagi orang lain yang menguasainya.
C.
Izin
Penguasa dalam Ihya Al-Mawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perlunya izin penguasa/pemerintah
untuk membuka lahan baru dan memfungsikan lahan yang gersang. Pendapat mereka
terbagi menjadi dua golongan besar yakni :
Hanafiyah berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan membuka atau
menhidupkan lahan yang kurang berfungsi, diwajibkan meminta izin kepada
penguasa atau pemerintah. Apabila penguasa atau pemerintah tidak mengizinkannya
maka seseorang tidak boleh langsun mengolah lahan itu. Oleh karena itu, pembuka
lahan tersebut harus meminta izin kepada penguasa atau pemerintah.
Sementara itu Malikiyah berpendapat, bahwa seseoarng yang membuka
lahan baru atau akan mengfungsikan lahan mati atau gersang, tidak wajib meminta
izin kepada penguasa atau pemerintah, sebab jika lahan itu dekat dengan
pemukiman, untuk menggarapnya harus mendapat izin dari penguasa/pemerintah, dan
jika lahan itu berada jauh dari pemukiman atau berada di pedalaman, tidak
diperlukan izindari penguasa/pemerintah.
Para ulama berpendapat bahwa sekalipun tanah atau lahan kosong
tersebut telah diolah dan dimilki oleh seseorang, didalamnya terdapat hak-hak
sosial yang tidak dapat dilarang untuk dinikmati masyarakat demi
keberlangsungan kehidupannya. Hak-hak tersebut ialah hak terhadap air, rumput,
dan api.
D.
Pembagian Tanah
Membagi-bagikan tanah/lahan dibolehkan menurut ajaran Islam,
asalkan saja tanah itu belum menjadi milik seseorang/suatu lembaga, misalnya :
tanah-tanah yang yang masih dikuasai oleh negara. Penguasaan tanah ini
tergantung pada kebijakan pemerintah, apakah akan dimanfaatkan untuk
kepentingan industri melalui perusahaan-perusahaan atau akan dibagi-bagikan
kepada rakyat, seperti yang terjadi di pulau Sumatra dan Kalimantan. Ada
sebagaian tanah yang diizinkan pengelolaannya kepad perusahaan perkebunan, dan ada juga
tanah/lahan yang dibagi-bagikan kepada peserta transmigrasi.
Menurut Qadhi’ Iyad yang dikutip oleh al-Kahlani dalam Subulus
Salam yang dimaksud dengan al-iqtha (membagika-bagikan tanah)adalah
pemberian pemerintah dari harta Allah swt, yang dianggap layak dan pantas untuk
itu, dengan cara-cara sebagai berikut :
a.
Sebagai
lahan/tanah diberikan kepada orang-orang yang mampu dan layak mengolahnya. Maka
tanah itu akan menjadi hak milik orang tersebut supaya dikelola demi mencukupi
kebutuhan hidupnya.
b.
Sebagaian
tanah diberikan sebagai sebagai hak guna usaha bukan sebagai hak milik. Jenis
lahan/tanah ini diberikan oleh pemerintah kepada orang-orang tertentu yang
layak dan mampu mengfungsikannya. Hasilnya tentu saja selain untuk pengelola,
yang lebih penting untuk kebutuhan masyarakat.
Pembagian
lahan/tanah seperti diatas mengacu kepada sabda Nabi yang berbunyi sebagai
berikut :
أن
النبي صلي الله وسلم اقطع ارضا بحضر موت وبعث معوية ليقطعها إ يا ه (رواه ابو داود
والتر مذى)
Artinya : “
Bahwasanya Nabi Muhammad SAW. Membagikan tanah da Hadra maut untuk dirinya
(diri Nabi), dan menginstruksikan Muawiyah untuk membagikan pula tanah itu
kepadanya (Muawiyah)”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi)
E.
Temuan dalam Tanah Baru
Menurut Hendi Suhendi bahwa seseorang yang telah memilki tanah atau
lahan dibolehkan mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, dan
yang terpenting tidak mengganggu milik orang lain dan menghalangi hak-hak
sosial. Batas-batas lahan atau tanah harus ditandai dengan jelas seperti
ditandai pohon-pohon, pagar, tiang beton dan lain sejenisnya, yang terpenting
dapat menunjukkan batas-batas tanah miliknya secara jelas. Hal ini dilakukan
untuk menghindari perselisihan kepemilkan hak dengan orang lain.
Dalam salah satu hadist yang terkait dengan ihya al-mawat
Rasulullah SAW bersabda :
قا ل رسول الله صلى عليه وسلم لا ضرر ولا ضرار (رواه احمد وابن ما جه)
Artinya : “Seseorang tidak boleh menyusahkan dan tidak boleh
disusahakan (HR.Ahmad dan Ibnu Majah).
Idris Ahmad
berpendapat, bahwa barang siapa yang menghidupkan tanah mati, kemudian dari
tanah tersebut memunculkan benda-benda yang tersembunyi (seperti barang-barang
berhaga atau barang tambang), maka benda-benda itu menjadi miliknya, sedangkan
air, rumput dan api/kayu bakar tetap menjadi milik masyarakat karena mengandung
nilai-nilai sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar