Sabtu, 16 Juni 2012

KERJASAMA BISNIS BAGI HASIL


KERJASAMA BISNIS BAGI HASIL
Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan Mata Pelajaran
“Fiqih Muamalah”



Disusun Oleh:
Siti Lailatul Badriyah (210609005)
Muhamad Iwan (210608023)


 

Dosen Pengampu:
Amin Wahyudi, M.S.E

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012

BAB I
PENDAHULUAN
            Fiqih muamalah merupakan segala peraturan yang diciptakan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup kehidupan. Salah satu ruang lingkup dari fiqih muamalah membahas tentang kerjasama bisnis bagi hasil. Hukum pelaksanaan ini sejak zaman jahiliyah sudah ada, kemudian Islam datang dan membolehkannya dengan peraturan-peraturan tertentu.
Kerjasama merupakan suatu perjanjian dimana pihak kesatu atau buruh mengikat diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, yaitu majikan yang mengikat diri untuk memperkerjakannya dengan membayar upah. Sedangkan bagi hasil merupakan perjanjian pengolahan tanah dengan upah berupa sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu.  

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Arti, Landasan, dan Pembagian Syirkah
1.      Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya. 
Menurut terminologi, syirkah atau pengkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
2.      Landasan Syirkah
Landasan Syirkah (perseroan) terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan ijma’, berikut ini :
a.       Al- Qur’an
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ

Artinya : “Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka yang berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh amat sedikitlah mereka ini” 
b.      As-Sunah
Legalitas perkongsian pun diperkuat, ketika nabi diutus, masyarakat sedang melakukan perkongsian. Beliau bersabda :

يد الله على الشر يكين مالم  يخاونا

Artinya : “Kekuasaan Allah senantiasa berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya tidak berkhianat”
c.       Al-Ijma’
Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.
3.      Pembagian Perkongsian
a.       Perkongsian Amlak
Perkongsian Amlak adalaj dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad. Perkongsian ini ada dua macam : [1]
1.      Perkongsian sukarela (ikhtiar)
Perkongsian Ikhtiar adalah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu. Contohnya dua orang membeli atau member atau berwasiat tentang sesuatu dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang diberi, dan yang diberi wasiat bersekutu diantara keduanya, yakni perkongsian milik.
2.      Perkongsian paksaan (ijbar)
Perkongsian ijbar adalah perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau Iebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka.
b.      Perkongsian Uqud
Secara umum, fuciaha Mesir, yang kebanyakan bermadzhab Syafi'i dan Maliki, berpendapat bahwa perkongsian terbagi atas empat macam, yaitu:
a.       Perkongsian ‘inan adalah persekutuan antar dua orang dalam harta milik untuk berdagang secara bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama.
b.      Perkongsian mufawidhah adalah transaksi antara dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, persatuan keuntungan , pebgolahan serta agama yang dianut.
c.       Perkongsian abdan adalah persekutuan dua orang untuk menerima suatu pekerjaan dengan akan dikerjkn secara bersama-sama.
d.      Perkongsian wujuh asalah bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal atau membeli barang secara tidak kontan, kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka dengan syarat tertentu.
4.      Sifat Akad Perkongsian dan Kewenangan
a.       Hukum kepastian (Luzum) Syirkah
Kebanyakan ulama figih berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan, tetapi tidak lazim.Oleh karena itu, salah seorang yang bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas sepengetahuan rekannya untuk menghindari kemadaratan.
b.      Kewenangan Syarik (yang Berserikat)
Para ahli fiqih sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian adalah amanah, seperti dalam titipan, karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya.
5.      Hal yang membatalkan Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal. Ada perkara yang membatalkan syirkah secara umum dan ada pula yang membatalkan sebagian yang lainnya.
1.    Pembatalan Syirkah Secara Umum
a.    Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu
b.    Meninggalnya salah seorang syarik.
c.    Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
d.   Gila  

2.    Pembatalan Secara Khusus Sebagian Syirkah
a.       Harta Syirkah Rusak
Apabila harta syirkah rusak seluruhnya atau harta salah seorang rusak sebelum dibelanjakan, perkongsian batal. Hal ini terjadi pada syirkah amwal. Alasannya, yang menjadi barang transaksi adalah harta maka, kalau rusak, akad menjadi batal sebagaimana terjadi pada transaksi jual-beli.
b.      Tidak Ada Kesamaan Modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah mufawidhah pada awal transaksi, perkongsian batal sebab hal itu merupakan syarat transaksi mufawidhah.
6.      Syirkah Rusak Menurut Ulama Hanafiyah
1.      Bersekutu dalam Pekerjaan yang Mudah
Kepemilikan ditetapkan bagi masing-masing dengan cara mengambil dan menguasai yang mubah, kemudian dilihat:
a.       Jika keduanya mengambil semuanya secara bersama-sama, maka pembagiannya adalah setengah untuk masing-masing.
b.      Jika pengambilannya dilakukan masing-masing, yang diambil merupakan milik priadi masing-masing.
c.       Jika masing-masing mengambil harta secara terpisah, kemudian mencampurkan dan menjualnya, harga basil penjualan tersebut dibagi berdasarkan pendapatan masing-masing atau berdasarkan nilainya.
d.      Jika salah seorang bekerja kemudian yang lain ikut membantu, masing-masing mendapat upah yang sesuai dengan pekerjaannya, misalnya seorang mencabut atau mengumpulkan, sedangkan yang lainnya membawanya.
2.      Bersekutu pada Dua Binatang yn Berbeda
3.      Binatang yang disewakan

B.     Perjanjian bagi Hasil (Musharabah)
1.      Pengertian
Mudharabah menurut bahasa berarti memutus, sedangkan menurut saya’ mudharabah adalah suatu adap penyerah harta yang dilakukan oleh pemiliknya kepada seseorang untuk memperdagangkan hanya tersebut dan keuntungan dibagi berdua
2.      Rukun dan syarat perjanjian bagi hasil
Bagi hasil dilakukan dengan didahului perjanjian sehingga iapun harus menenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun bagi hasil adalah harus ada para puhak (obyek hukum) obyek tertentu ijab dan qabul melalui pengucapan lafad. Adapun syarat bagi hasil ada 4 diantaranya :
a.       Mudharabah itu sendiri harus berupa uang (dirham dan dinar) yang murni
b.      Pemilik modal memberikan ijin kepada pihak pihak yang memperdagangkanya untuk mengolah secara mutlak, maka tidak boleh bagi si malik mempersempit pengeluaran dalam mentasarrufkan
c.       Harus ada janji dari si Malik kepada amil berupa bagian keuntungan yang dapat diketahui seperti setengah dari keuntunganya atau sepertiganya.[2]
3.      Dasar Hukum
Dasar Hukum mengenai diperbolehkannya perjanjian bagi basil teradapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi. Di dalam al-Quran menge­nai kebolehan mengadakan perjanjian bagi hasil ini terdapat dalam surat al-Muzamil ayat (20) yang artinya adalah sebagai berikut:
"Dan yang lain lagi, mereka bepergian di inuka bumi untuk mecari karunia dari Allah”
Kemudian dalam hukum positif, sebagaimana yang telah dise­butkan di atas, bagi hasil khususnya atas tanah pertanian diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960. Dalam Penjelasan Umum poin ketiga undang-undang ini menyebutkan bahwa:
a.    agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dila­kukan atas dasar yang adil.
b.    Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu ber­ada dalam kedudukan yang tidak kuat. yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
c.    Dengan terciptanya kondisi a dan b, maka akan menambah kegem­biraan para petani."
4.      Para Pihak dalam Perjanjian Bag Hasil
Pihak malik tidak memperkirakan akad mudharabah dalam suatu masa yang telah maklum
Dalam perjanjian bagi hasil terdapat pihak-pihak yang satu dan lainnya masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Adapun me­ngenai pihak-pihak ini penulis kategorikan menjadi dua macam, yaitu pihak dalam perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian dan pihak dalam perjanjian bagi hasil dalam dunia perbankan.
a.         Pihak-pihak dalam perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian
Dalam hal yang menjadi obyek perjanjiannya adalah bagi hasil atas tanah pertanian, maka terdapat dua pihak dengan hak dan kewa­jiban masing-masing pihak adalah sebagai berikut :
1.      Pihak Pemilik Lahan Pertanian
Ia adalah pihak yang memiliki lahan pertanian, yang karena satu dan lain hal tidak cukup waktu untuk menggarap tanah pertani­annya. Padahal terdapat laranngan menelantarkan tanah, seba­gaimana yang telah disebutkan dalam UUPA 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu, tanah harus dimanfaatkan secara produktif.
2.      Pihak Penggarap
Ia adalah pihak yang mempunyai cukup waktu luang, namun tidak memiliki cukup lahan pertanian. Oleh karena itu, ia kemu­dian akan menjalin perjanjian dengan pemilik lahan pertanian dengan tujuan mendapatkan pembagian hasil dari usahanya menggarap tanah pertanian
b.        Pihak-pihak dalam perjanjian bagi hasil dalam perbankan
1.      Pihak Pemilik Dana (Shahibul Maal)
Bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) adalah pihak yang akan memberikan pembiayaan terhadap nasabah untuk digunakan dalam kegiatan produktif
2.      Pihak Pengelola Dana (Mudharib)
Ialah pihak yang membutuhkan suntikan dana guna men­jalankan kegiatan usahanya. Berdasarkan pada kondisi  basil sesuai dengan nisbah atau rasio yang disepakati kepada bank dan me­ngembalikar pinjaman dari bank secara angsuran, namun di sisi lain ia berhk atas pinjaman dana setelah perjanjian bagi hasil ditutup dan menggunakannya untuk kegiatan-kegiatan yang produktif.[3]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan :
1.      Syirkah adalah bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainya tanpa dapat dibedakan keduanya
2.      Landasan syirkah
a.       Al-Qur’an
b.      As-sunnah
c.       Al-Ijma
3.      Pembagian Syirkah
a.       Amlak (kepemilikan)
b.      Uqud (kontrak) kerja sama / mudharabah adalah suatu aqad penyerahan harta yang dilakukan oleh pemiliknya kepada seseorang supaya memperdagangkan harta tersebut dan keuntunganya diagi berdua.
SARAN
Dari pembahasan diatas dapat diambil saran sebagai berikut :
1.      Kerjasama bisnis bagi hasil sejak zaman jahiliyah hingga sekarang masih tetap eksis dan kita harus menyadari bahwa kehidupan manusia sangat bergantung pada yang lainnya, maka dari itu kita perlu mengembangkan hubungan kerja sama.
2.      Dalam konteks kehidupan ini, untuk menghindari adanya penipuan atau pelecehan dalam pelaksanaan hubungan kerjasama bagi hasil hendaknya memperhatikan syarat dan rukun serta perjanjian yang disepakati kedua belah pihak agar tidak ada yang merasa dirugikan dan saling mendapatkan kemanfa’atannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Imron, Terjemah Fat-hul Qarib Jilid I, Kudus : PT. Menara Kudus
Ghofur Abdul Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia Yogyakarta :PT Gadjah Mada university, 2010
Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah Bandung : PT. CV Pustaka Setia, 2001
Yudi Erwin Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta : STAIN Press 2009




[1] Rachmat Syafei, Fikih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm 183-102
[2] Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qorib Jilid 1, (Kudus: Menara Kudus, 1982 M)hlm 290-292
[3] Abdul Ghofur Anshori, hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada Universiti Press, 2010) hlm 101-107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar