KERJASAMA BISNIS BAGI HASIL
Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan
Mata Pelajaran
“Fiqih Muamalah”
Disusun Oleh:
Siti Lailatul Badriyah (210609005)
Muhamad Iwan (210608023)
Dosen Pengampu:
Amin Wahyudi, M.S.E
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Fiqih muamalah merupakan segala
peraturan yang diciptakan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam hidup kehidupan. Salah satu ruang lingkup dari fiqih muamalah
membahas tentang kerjasama bisnis bagi hasil. Hukum pelaksanaan ini sejak zaman
jahiliyah sudah ada, kemudian Islam datang dan membolehkannya dengan
peraturan-peraturan tertentu.
Kerjasama
merupakan suatu perjanjian dimana pihak kesatu atau buruh mengikat diri untuk
bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, yaitu majikan yang mengikat
diri untuk memperkerjakannya dengan membayar upah. Sedangkan bagi hasil
merupakan perjanjian pengolahan tanah dengan upah berupa sebagian dari hasil yang
diperoleh dari pengolahan tanah itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti, Landasan, dan Pembagian Syirkah
1. Pengertian
Syirkah
Secara etimologi,
syirkah atau perkongsian berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu
dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
Menurut terminologi,
syirkah atau pengkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta
yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya
saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik
keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
2. Landasan
Syirkah
Landasan Syirkah
(perseroan) terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan ijma’, berikut ini :
a. Al-
Qur’an
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ
لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ
Artinya : “Sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka yang berbuat
zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh
amat sedikitlah mereka ini”
b. As-Sunah
Legalitas perkongsian
pun diperkuat, ketika nabi diutus, masyarakat sedang melakukan perkongsian.
Beliau bersabda :
يد
الله على الشر يكين مالم يخاونا
Artinya : “Kekuasaan
Allah senantiasa berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya tidak
berkhianat”
c. Al-Ijma’
Umat Islam sepakat
bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.
3. Pembagian
Perkongsian
a. Perkongsian
Amlak
Perkongsian Amlak
adalaj dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad. Perkongsian
ini ada dua macam : [1]
1. Perkongsian
sukarela (ikhtiar)
Perkongsian Ikhtiar
adalah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang
bersekutu. Contohnya dua orang membeli atau member atau berwasiat tentang
sesuatu dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang diberi, dan yang
diberi wasiat bersekutu diantara keduanya, yakni perkongsian milik.
2.
Perkongsian
paksaan (ijbar)
Perkongsian
ijbar adalah perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau Iebih yang bukan
didasarkan atas perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka
yang diberi waris menjadi sekutu mereka.
b.
Perkongsian
Uqud
Secara umum, fuciaha Mesir,
yang kebanyakan bermadzhab
Syafi'i dan Maliki, berpendapat bahwa perkongsian terbagi atas empat macam, yaitu:
a.
Perkongsian
‘inan adalah persekutuan antar dua orang dalam harta milik untuk berdagang
secara bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama.
b.
Perkongsian
mufawidhah adalah transaksi antara dua orang atau lebih untuk berserikat dengan
syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, persatuan keuntungan , pebgolahan
serta agama yang dianut.
c.
Perkongsian
abdan adalah persekutuan dua orang untuk menerima suatu pekerjaan dengan akan
dikerjkn secara bersama-sama.
d.
Perkongsian
wujuh asalah bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal
atau membeli barang secara tidak kontan, kemudian keuntungan yang diperoleh
dibagi antara mereka dengan syarat tertentu.
4. Sifat
Akad Perkongsian dan Kewenangan
a. Hukum
kepastian (Luzum) Syirkah
Kebanyakan
ulama figih berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan, tetapi tidak lazim.Oleh
karena itu, salah seorang yang bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas
sepengetahuan rekannya untuk menghindari
kemadaratan.
b. Kewenangan Syarik (yang Berserikat)
Para ahli fiqih sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian adalah amanah, seperti dalam titipan, karena
memegang atau menyerahkan harta atas
izin rekannya.
5.
Hal yang membatalkan Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal. Ada perkara yang membatalkan syirkah
secara umum dan ada pula yang
membatalkan sebagian yang lainnya.
1.
Pembatalan
Syirkah Secara Umum
a.
Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu
b. Meninggalnya salah seorang syarik.
c.
Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
d.
Gila
2. Pembatalan
Secara Khusus Sebagian Syirkah
a. Harta
Syirkah Rusak
Apabila harta syirkah rusak
seluruhnya atau harta salah seorang rusak sebelum
dibelanjakan, perkongsian batal. Hal
ini terjadi
pada syirkah amwal. Alasannya, yang menjadi barang transaksi adalah harta maka, kalau rusak, akad menjadi batal sebagaimana terjadi pada transaksi
jual-beli.
b. Tidak Ada Kesamaan Modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah mufawidhah pada
awal transaksi, perkongsian batal sebab
hal itu merupakan syarat transaksi
mufawidhah.
6.
Syirkah Rusak Menurut Ulama Hanafiyah
1.
Bersekutu dalam Pekerjaan yang Mudah
Kepemilikan ditetapkan bagi
masing-masing dengan cara
mengambil dan menguasai yang mubah, kemudian dilihat:
a.
Jika keduanya mengambil semuanya secara
bersama-sama, maka pembagiannya adalah setengah untuk masing-masing.
b.
Jika pengambilannya dilakukan masing-masing, yang diambil merupakan milik priadi masing-masing.
c.
Jika
masing-masing mengambil harta secara
terpisah, kemudian mencampurkan dan menjualnya, harga basil penjualan tersebut dibagi berdasarkan pendapatan masing-masing
atau berdasarkan nilainya.
d.
Jika salah seorang
bekerja kemudian yang lain
ikut membantu, masing-masing mendapat upah yang
sesuai dengan pekerjaannya, misalnya seorang mencabut atau mengumpulkan, sedangkan yang lainnya membawanya.
2.
Bersekutu pada Dua Binatang yn Berbeda
3.
Binatang yang disewakan
B.
Perjanjian bagi Hasil (Musharabah)
1.
Pengertian
Mudharabah menurut bahasa berarti memutus, sedangkan
menurut saya’ mudharabah adalah suatu adap penyerah harta yang dilakukan oleh
pemiliknya kepada seseorang untuk memperdagangkan hanya tersebut dan keuntungan
dibagi berdua
2.
Rukun dan syarat perjanjian bagi hasil
Bagi hasil dilakukan dengan didahului perjanjian
sehingga iapun harus menenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun bagi hasil
adalah harus ada para puhak (obyek hukum) obyek tertentu ijab dan qabul melalui
pengucapan lafad. Adapun syarat bagi hasil ada 4 diantaranya :
a.
Mudharabah itu sendiri harus berupa uang (dirham dan dinar) yang
murni
b.
Pemilik modal memberikan ijin kepada pihak pihak yang
memperdagangkanya untuk mengolah secara mutlak, maka tidak boleh bagi si malik
mempersempit pengeluaran dalam mentasarrufkan
c.
Harus ada janji dari si Malik kepada amil berupa bagian keuntungan
yang dapat diketahui seperti setengah dari keuntunganya atau sepertiganya.[2]
3.
Dasar Hukum
Dasar Hukum mengenai diperbolehkannya perjanjian bagi basil
teradapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi. Di dalam al-Quran mengenai kebolehan
mengadakan perjanjian bagi hasil ini terdapat dalam surat al-Muzamil ayat
(20) yang artinya adalah sebagai berikut:
"Dan yang lain lagi, mereka bepergian di inuka bumi untuk
mecari karunia dari Allah”
Kemudian dalam hukum positif, sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, bagi hasil khususnya atas tanah pertanian diatur dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960. Dalam Penjelasan Umum poin ketiga
undang-undang ini menyebutkan bahwa:
a.
agar
pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar
yang adil.
b.
Dengan
menegaskan hak-hak dan kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula
kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian
bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat. yaitu karena umumnya
tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi
penggarapnya adalah sangat besar.
c.
Dengan
terciptanya kondisi a dan b, maka akan menambah kegembiraan para petani."
4.
Para
Pihak dalam Perjanjian Bag Hasil
Pihak malik tidak memperkirakan akad mudharabah dalam
suatu masa yang telah maklum
Dalam perjanjian bagi hasil terdapat pihak-pihak yang satu dan
lainnya masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Adapun mengenai pihak-pihak
ini penulis kategorikan menjadi dua macam, yaitu pihak dalam perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian dan pihak dalam
perjanjian bagi hasil dalam dunia perbankan.
a.
Pihak-pihak
dalam perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian
Dalam hal yang menjadi obyek perjanjiannya
adalah bagi hasil atas tanah pertanian, maka terdapat dua pihak dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak adalah sebagai berikut
:
1.
Pihak
Pemilik Lahan Pertanian
Ia adalah pihak yang memiliki lahan
pertanian, yang karena satu dan lain hal
tidak cukup waktu untuk menggarap tanah pertaniannya. Padahal terdapat
laranngan menelantarkan tanah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam UUPA
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu, tanah harus
dimanfaatkan secara produktif.
2.
Pihak
Penggarap
Ia adalah pihak yang mempunyai cukup waktu luang, namun tidak
memiliki cukup lahan pertanian. Oleh karena itu, ia kemudian akan menjalin
perjanjian dengan pemilik lahan pertanian dengan tujuan mendapatkan pembagian
hasil dari usahanya menggarap tanah
pertanian
b.
Pihak-pihak
dalam perjanjian bagi hasil dalam perbankan
1.
Pihak
Pemilik Dana (Shahibul Maal)
Bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) adalah pihak yang
akan memberikan pembiayaan terhadap nasabah untuk digunakan dalam kegiatan
produktif
2.
Pihak
Pengelola Dana (Mudharib)
Ialah pihak yang membutuhkan suntikan dana guna menjalankan
kegiatan usahanya. Berdasarkan pada kondisi basil sesuai dengan nisbah atau rasio yang disepakati kepada bank
dan mengembalikar pinjaman dari bank secara angsuran, namun di sisi lain ia
berhk atas pinjaman dana setelah perjanjian bagi hasil ditutup dan
menggunakannya untuk kegiatan-kegiatan yang produktif.[3]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat
menyimpulkan :
1.
Syirkah adalah bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainya
tanpa dapat dibedakan keduanya
2.
Landasan syirkah
a.
Al-Qur’an
b.
As-sunnah
c.
Al-Ijma
3.
Pembagian Syirkah
a.
Amlak (kepemilikan)
b.
Uqud (kontrak) kerja sama / mudharabah adalah suatu aqad penyerahan harta
yang dilakukan oleh pemiliknya kepada seseorang supaya memperdagangkan harta
tersebut dan keuntunganya diagi berdua.
SARAN
Dari pembahasan diatas dapat diambil saran sebagai
berikut :
1.
Kerjasama bisnis bagi hasil sejak zaman jahiliyah hingga sekarang masih
tetap eksis dan kita harus menyadari bahwa kehidupan manusia sangat bergantung
pada yang lainnya, maka dari itu kita perlu mengembangkan hubungan kerja sama.
2.
Dalam konteks kehidupan ini, untuk menghindari adanya penipuan atau
pelecehan dalam pelaksanaan hubungan kerjasama bagi hasil hendaknya
memperhatikan syarat dan rukun serta perjanjian yang disepakati kedua belah
pihak agar tidak ada yang merasa dirugikan dan saling mendapatkan kemanfa’atannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu
Imron, Terjemah Fat-hul Qarib Jilid I, Kudus : PT. Menara Kudus
Ghofur Abdul Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di
Indonesia Yogyakarta :PT Gadjah Mada university, 2010
Syafei
Rachmat, Fiqih Muamalah Bandung : PT. CV Pustaka Setia, 2001
Yudi Erwin Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam,
Yogyakarta : STAIN Press 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar